Perempuan dan Pilkada 2018


Ilustrasi. (foto: totabuan.co)
Perempuan di Indonesia jarang sekali menempati berbagai jabatan tinggi baik dipemerintahan maupun perusahaan swasta. Sebabnya ada banyak salah satunya karena pandangan yang melihat bahwa wanita Indonesia tidak memiliki kapasitas yang sama dengan pria. Hal inipun kembali terlihat pada gelaran pilkada 2018, dimana jumlan calon pemimpin yang mengajukan diri menjadi bakal calon gubernur-wakil gubernur, dan calon walikota-wakil walikota jumlahnya kurang dari 1% dari total pendaftar.

Pemilihan kepala daerah yang akan digelar pada 27 Juni mendatang dilaksanakan di 171 provinsi dan kabupaten/kota. Ada 17 pilgub, 39 pilwalkot, dan 115 pilbup dengan total calon kepala dan wakil kepada daerah mencapai 1.130 kandidat yang terdiri dari 566 pasangan calon, 440 berasa dari partai dan 130 sisanya merupakan perseorangan. Sementara berbicara gender, ada 521 calon kepala daerah laki-laki, dan 49 calon kepala perempuan. Sementara untuk calon wakil kepala daerah laki-laki tercatat sebanyak 520 orang, dan perempuan 50 orang. Jika ditotal calon kepala daerah bergender laki-laki ada 1.041 sedangkan perempuan hanya 99.

Pasti ada sebab mengapa pada pilkada 2018 ini perempuan tak begitu bergeliat di perebutan kursi kepemimpinan. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah, Siti Noor Djannah Djohantini berpandangan ada sejumlah faktor yang membuat perempuan urung ikut dalam pertempuran, tentunya ini bukan karena ketidakmampuan mereka secara intelektual melainkan karena faktor-faktor lain. Faktor pertama yang menjadi sebab adalah keengganan para perempuan untuk terlibat dalam politik uang.

Dijelaskan oleh Siti, bahwa sistem pemilihan kepala dan wakil kepala daerah di Indonesia masih sangat bergantung pada politik uang. Terbukti dengan adanya syarat menyangkut besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan setiap calon untuk merebut sebuah kursi. Faktor inilah yang paling banyak membuat para kandidat berkompeten mundur. Bagi kaum perempuan seharusnya ongkos politik tidaklah boleh mahal sebab yang ditawarkan kepada masyarakan adalah program yang bagus dan kepercayaan.

Masih menurut Siti, dirinya mengaku mendapat informasi soal ongkons pencalonan menjadi kepala daerah yang amat mahal. Setidaknya jika ingin melaju pada pencalonan bupati atau walikota para calon harus menyiapkan sekurang-kurangnya Rp 100juta, bahkan beberapa ada yang sudah siap dengan dana mencapai Rp 500juta. Karena perempuan begitu tidak familiar dengan sistem uang dan anti dengan politik yang maka sulit bagi mereka masuk dalam pertarungan pilkada serentak 2018 ini. Perlu ada dorongan yang lebih kuat dari pemerintah agar perempuan juga mau bertarung memperebutkan kursi atau setidaknya mengurangi politik uang dalam pemilu.

Inilah yang menyebabkan mengapa jumlah calon pemimpin perempuan pada pilkada 2018 ini tak sampa dari jumlah yang diisyaratkan pemerintah yakni sebsar 30%.  Angka inipun menunjukkan bahwa keterwakilan permpuan dalam panggung politik Indonesia masih sangat kurang. Biar begitu kita patut bernapas lega karena menurut Koordinator Nasional Jaringan Penidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Sunanto ada sejumlah daerah yang berani mencoba mengusung bakal calon bergender perempuan.

Menurutnya ini bisa menjadi contoh bagi partai politik lain untuk mulai berani mengusung perempuan dalam pertarungan pemilihan kepala daerah. Bahkan kita bisa menyaksikan pertarungan head to head antara bakal calon pemimpin perempuan seperti pada pilkada gubernur-wakil gubernur Jawa Timur, yang mempertemukan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul)-Puti Guntur Soekarno. Sayangnya menurut pandangan Sunanto posisi perempuan pada pertarungan pilkada 2018 ini sebenarnya sangat bergantung pada pasangannya.

Artinya elektabilitas bakal calon bergender perempuan sementara ini masih lebih rendah dibandingkan laki-laki. Menurut data KPU ada 36 perempuan bakal calon (balon) kepala daerah telah mendaftarkan diri dari jalur partai, detailnya adalah 1 balon wakil gubernur, 7 balon wali kota, 10 balon bupati, 7 balon wakil walikota dan 11 balon wakil bupati.

Ke-7 balon wali kota tersebut adalah Sartina untuk kota Subulussalam, Ida Fitriati Basjuni, Patriana Sosia Linda, Endang Kusumawaty, Nurul Qomaril Arifin, Ade UU Sukaesih dan Tatong Bara. Sementara ke-10 balon bupati adalah Hellyana, Ade Munawaroh Yasin, Imas Aryumningsih, Puput Tantriana Sari, Mundjidah Wahab, Mahfudoh, Anna Mu’awanah, Vera Elena Laruni, Fatmawati Rusdi, Asmani Arif Asmidar, Riezky Aprilia Rahma, Ima Slamet, Lilik Muhibbah, Umi Mustikah, Eva Frasina Balbun. Ke-11 balon wakil walikota Ice Suryana, Imas Aan Ubudiah, Dian Hernawa Susanty, Sonia Sugian, Umi Azizah, Indah Amperawati, Iswati, Efrensia L.P Umbing, Emmy Tallesang, Murni Tombili dan Suhelah.

Tentunya nama-nama ini masih asing ditelinga kita. Tidak seperti para pencalon bergender laki-laki yang sudah lebih lama dan berpengalaman dalam dunia politik. Bakal calon pemimpin perempuan yang mengikuti pilkada cenderung belum memiliki track record. Karena itu banyak pihak mendesak pemerintah untuk turut serta mendorong, mewadahi setiap perempuan Indonesia yang berkompeten agar belajar berpolitik.

Sebenarnya kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, Amerikra yang kategori merupakan negara paling demokratis saja belum bisa menemukan peran besar perempuan dalam pengelolaan negara. Terbukti dengan data yang menyatakan bahwa di Amerika hanya ada 6 gubernur perempuan dari 50 negara bagian. Jumlah yang amat kecil jika dibandingkan dengan majunya pendidikan untuk kalangan wanita karir di Amerika. Ini juga mengindikasikan bahwa representasi perempuan dalam politik masih sangat kecil.

Mengapa peran perempuan ini begitu minor? Salah satu sebabnya mungkin karena ide-ide atau visi-misi yang diberikan kaum hawa ini lebih condong meliputi hal sosial-humanity, permasalahan sosial mengenai kesejahteraan kaum perempuan, pemberdayaan masyarakat kelas bahwa dan lain sebagainya. Pandangan seperti ini menurut sebagian besar orang terutama mereka para pengambil kebijakan tidak mampu menjawab persoalan mendasar persoalan sebuah negara yang meratanya kesejahteraan.Inilah yang agaknya mungkin juga menyebabkan tidak banyak parpol mau mengusung perempuan pada pemilihan umum.

Hingga saat ini memang belum ada bakal calon dari kaum perempuan yang memiliki pandangan fundamental misalnya dalam segi ekonomi dan pendidikan secara menyeluruh. Fokus mereka terkadang lebih banyak tercurahkan untuk kaum kaum marginal dan menengah kebawah. Sementara Indonesia juga dihuni oleh mereka para pemangku kepentingan, pemilik bisnis yang juga menginginkan kesejahteraan.

Lantas apa yang bisa kita lakukan agar kejadian pada pilkada 2018 ini tak terulang pada pemilu selanjutnya? Yakni mengubah sistem politik sejak dari dalam partai politik dengan memberikan ruang gerak yang lebih besar bagi para perempuan untuk ikut ambil bagian dalam menentukan kasus-kasus atau persoalan strategis, dengan begitu budaya perempuan berpolitikpun bisa terbentuk sekaligus juga menciptakan karakter baru bagi para pemimpian di Indonesia.

Apapun yang terjadi pada pemilihan umum kepala daerah 2018 sebaiknya menjadi pelajaran kita bersama dan membuka pandangan kita menyangkut masih terbatasnya perempuan dalam kehidupan politik. Tidak perlu skeptis menanggapi kenyataan yang kita lihat selama pilkada, toh ini masih bisa diubah dan masih banyak perempuan bertalenta yang cerdas yang dapat menjadi pemimpin Indonesia dimasa depan.


Posting Komentar

0 Komentar